Dua hari sudah perjalanan panjang dari
tanah perantauan yang melelahkan serta
menghembuskan aroma kampong halaman. Ya,setidaknya sebelas tahun adalah waktu
yang cukup panjang bagi seorang manusia pencari
jati diri berkelana jauh dari asal mula
kehidupan yang setiap detiknya begitu bermakna.
Aroma itu semakin tajam hinggap di
benak dan persaan yang sungguh, sangat merindukan tapak demi setapak yang dilangkahkan,setiap
hembusan nafas,maupun setiap senyuman dari penduduk yang selalu ramah dan santun
sapaan.
Lorong-lorong yang dulu sering kulewati,
perkampungan yang asri, indah, serta kedamaian disetiap waktu sepanjang hari
yang melantun dan irama dari ayunan mendayu pepohonan rindang.
Ya,aku masih ingat serdadu kecil
dikampung ini, aku, dan masih banyak bocah-bocah kecil yang selalu menapakkan
kakinya dipematang-pematang sawah, berseluncur ditebing-tebing curamjabal, hffft,sebelas
tahun bukan waktu yang cukup untuk melupakan, keindahan yang benar-benar tertanam
dalam memory abadi.
“disinimas?” sapaan santun
pengemudi bus lintas barat sumateraitu sentakkan aku dari nostalgia
“iya mas” balasku dengan sedikit linglung
Ku pandangi sekitar, setiap sudut secara
detail ku amati hinggagenap 360o
suasana sekitar buat keningku berkerut kasar sembari tercengang menatapi
keadaan yang sungguh tidak akrab diingatanku,
“mall?” semakin kebingungan
“Pak,pak…” aku mencobamemanggil
lelaki setengah baya yang kebetulan berjalan didepanku.
Namun, lelaki itu tak sedikitpun
mengacuhkan panggilanku, tak adapun sedikit senyuman yang terlantun dari lelaki
dengan jas gelap itu.
“Adek,..” coba kembali bertanya
“Maafde’, apa benar ini Pucok krueng?” aku bicara
dengan nada yang tidak yakin
“maaf ya, elo siapa? Berani godain
gua, karna gue cantik ya ” balas remaja ingusan itu tanpa menghiraukan
pertanyaanku.
Tak sadar,ternyata koperku sudah
diangkat seorang sopir taksi kedalam bagasi mobilnya, dengan sangat sterpaksa,
ku balik badandariremaja tengik itu dan menuju taksi yang telah berhasil
memaksaku dengan modus operandinya.
“Kamana ku harus antar kau?” sang sopir
bertanya dengan nada yang tidak sopan
“Lorongseulanga bang..” kecewa dengan
pelayanan yang kurang bersahabat
“Dimananya?”
“ya, di lorong seulanga bang”
“bah, jelas-jelas lah kau kasih
alamat, ku antar juga kau ke jabal bate”
“mm…. benertu pak, rumah saya deket
jabal bate”
“Alahmak, gila juga kau rupanya, anak
kuli pabrik kau rupanya”
“antarkan saya kesana pak!” menutup
ketidak sopanan komunikasi itu
Sesampai di Jabal, aku lebih
bingung dengan daerah kelahiranku ini. Tidak tersisa satu pohonpun yang dulu
tersusun rapi di jajaran jabal. Tak satupun rumah panggung dalam fikiranku yang
ku lihat dimataku. Hanya pabrik besar dengan suara bising pecahkan suasana
gersang itu.
Panasnya hari itu buatku singgah ke
kios kecil di kaki bukit jabal,kios sederhana itu terlalu kecil dan terlihat
reot, tapi mungkin ku masih bisaberlindung dari sengatan langsung ultraviolet.
Secangkir the dingin menghampiri kegerahan
dalam hari itu disela-sela sapaan kecil dari kejauhan setelah setengah gelas ku
teguk penghapus dahaga siang itu. Sapaan kecil itu ternyata memanggil namaku.
“hey teuku….” Sembari mengangkat
tangan dan bergegas menuju sapaan kecil itu
“kapan kamu pulang!”
“barusan aku sampai,udah berubah ya
jabal…”
“Hehehe, iya tapi satu sudut
pandang ini yang masih sama” Teuku menunjuk sebidang tanah kecil yang masih
ditumbuhi ilalang,
Itu adalah tempat dulu aku bermain
dengan teman-teman, berselancar diladang ilalang curam di tepi jabal. Hingga sekarang
ilalang itu masih bersenandung, merekam setiap perubahan di tanah kelahiran.