Minggu, 08 Januari 2012

SENANDUNGILALANG



Dua hari sudah perjalanan panjang dari tanah  perantauan yang melelahkan serta menghembuskan aroma kampong halaman. Ya,setidaknya sebelas tahun adalah waktu yang cukup panjang bagi seorang manusia pencari  jati diri berkelana jauh dari asal mula  kehidupan yang setiap detiknya begitu bermakna.
Aroma itu semakin tajam hinggap di benak dan persaan yang sungguh, sangat merindukan tapak demi setapak yang dilangkahkan,setiap hembusan nafas,maupun setiap senyuman dari penduduk yang selalu ramah dan santun sapaan.
Lorong-lorong yang dulu sering kulewati, perkampungan yang asri, indah, serta kedamaian disetiap waktu sepanjang hari yang melantun dan irama dari ayunan mendayu pepohonan rindang.
Ya,aku masih ingat serdadu kecil dikampung ini, aku, dan masih banyak bocah-bocah kecil yang selalu menapakkan kakinya dipematang-pematang sawah, berseluncur ditebing-tebing curamjabal, hffft,sebelas tahun bukan waktu yang cukup untuk melupakan, keindahan yang benar-benar tertanam dalam memory abadi.
“disinimas?” sapaan santun pengemudi bus lintas barat sumateraitu sentakkan aku dari nostalgia
“iya mas” balasku dengan sedikit linglung
Ku pandangi sekitar, setiap sudut secara detail ku amati hinggagenap 360o  suasana sekitar buat keningku berkerut kasar sembari tercengang menatapi keadaan yang sungguh tidak akrab diingatanku,
“mall?”  semakin kebingungan
“Pak,pak…” aku mencobamemanggil lelaki setengah baya yang kebetulan berjalan didepanku.
Namun, lelaki itu tak sedikitpun mengacuhkan panggilanku, tak adapun sedikit senyuman yang terlantun dari lelaki dengan jas gelap itu.
“Adek,..” coba kembali bertanya
“Maafde’,  apa benar ini Pucok krueng?” aku bicara dengan nada yang tidak yakin
“maaf ya, elo siapa? Berani godain gua, karna gue cantik ya ” balas remaja ingusan itu tanpa menghiraukan pertanyaanku.
Tak sadar,ternyata koperku sudah diangkat seorang sopir taksi kedalam bagasi mobilnya, dengan sangat sterpaksa, ku balik badandariremaja tengik itu dan menuju taksi yang telah berhasil memaksaku dengan modus operandinya.
“Kamana ku harus antar kau?” sang sopir bertanya dengan nada yang tidak sopan
“Lorongseulanga bang..” kecewa dengan pelayanan yang kurang bersahabat
“Dimananya?”
“ya, di lorong seulanga bang”
“bah, jelas-jelas lah kau kasih alamat, ku antar juga kau ke jabal bate”
“mm…. benertu pak, rumah saya deket jabal bate”
“Alahmak, gila juga kau rupanya, anak kuli pabrik kau rupanya”
“antarkan saya kesana pak!” menutup ketidak sopanan komunikasi itu
Sesampai di Jabal, aku lebih bingung dengan daerah kelahiranku ini. Tidak tersisa satu pohonpun yang dulu tersusun rapi di jajaran jabal. Tak satupun rumah panggung dalam fikiranku yang ku lihat dimataku. Hanya pabrik besar dengan suara bising pecahkan suasana gersang itu.
Panasnya hari itu buatku singgah ke kios kecil di kaki bukit jabal,kios sederhana itu terlalu kecil dan terlihat reot, tapi mungkin ku masih bisaberlindung dari sengatan langsung ultraviolet.
Secangkir the dingin menghampiri kegerahan dalam hari itu disela-sela sapaan kecil dari kejauhan setelah setengah gelas ku teguk penghapus dahaga siang itu. Sapaan kecil itu ternyata memanggil namaku.
“hey teuku….” Sembari mengangkat tangan dan bergegas menuju sapaan kecil itu
“kapan kamu pulang!”
“barusan aku sampai,udah berubah ya jabal…”
“Hehehe, iya tapi satu sudut pandang ini yang masih sama” Teuku menunjuk sebidang tanah kecil yang masih ditumbuhi ilalang,
Itu adalah tempat dulu aku bermain dengan teman-teman, berselancar diladang ilalang curam di tepi jabal. Hingga sekarang ilalang itu masih bersenandung, merekam setiap perubahan di tanah kelahiran.